MAKALAH Moderenisasi Pendidikan Islam
MAKALAH
'' Moderenisasi
Pendidikan Islam Dan Epistemologi Ilmu ''
Di Ajukan Oleh Ibu Dosen
Eda Laelasari M.Pd
Disusun Oleh
Mulyawan
KATA PENGANTAR
BAB I
1.1
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk berakal tidak pernah lepas
dari hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan. Pengetahuan merupakan sesuatu
yang melekat dalam kehidupan manusia. Sejak dalam kandungan, potensi bagi
manusia sebagai makhluk berpengetahuan sudah tampak dan terus berkembang secara
dinamis seiring dengan perkembangan usia. Pengetahuan merupakan sumber jawaban
bagi berbagai pertanyaan yang timbul dari kehidupan manusia. Pengetahuan
merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung turut memperkaya
kehidupan manusia. Setiap pengetahuan mempunyai spesifikasi mengenai apa,
bagaimana dan untuk apa pengetahuan itu disusun serta dari mana sumber
pengetahuan itu.
Perkembangan ilmu pengetahuan menunjukkan kemampuan
besar dari pikiran manusia, pengetahuan berkembang sejalan dengan perkembangan
peradaban manusia, dimana hakikat manusia adalah ingin mengetahui sesuatu
hingga pada hal yang sedalam-dalamnya. Melalui filsafat pengetahuan sangat
membantu dalam memperluas wawasan tentang pengetahuan, karena kita hidup dalam
jaman yang penuh dengan tantangan dan perubahan. Oleh karenanya, peranan dan
kedudukan filsafat pengetahuan sangat membantu manusia untuk memprediksi
berbagai permasalahan pengetahuan.
Melalui filsafat
pengetahuan dapat dikaji hakikat ilmu yang di dalamnya meliputi epistemologi
dan logika. Epistemologi membahas ruang lingkup dan batas-batas pengetahuan
menyangkut teori pengetahuan yang memiliki makna bahwa epistemologi adalah
sebagai landasan tentang pengetahuan, sedangkan logika sangat terkait guna
menyelidiki sifat dan cara berpikir yang benar dengan menggunakan akal sehat.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari modernisasi pendidikan islam?
2.
Bagaimana Latar belakang dan pola pembaruan pendidikan islam?
3.Bagaiman
Masa pembaruan pendidikan islam?
1.3 Tujuan pembahasan
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah kapita selekta
pendidikan islam. Selain itu, bagi diri saya pribadi makalah ini juga
diharapkan bisa digunakan untuk menambah pengetahuan yang lebih bagi mahasiswa,
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas modernisasi pendidikan islam
terhadap dunia pendidikan dan menambah ilmu pengetahuan mengenai pendidikan.
Diharapkan masyarakat
bisa lebih memahami tentang arti penting modernisasi sehingga agar semua
dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang timbul oleh
kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
BAB
II
PEMBAHASAN
Modernisasi
Pendidikan Islam dan Epistemologi Ilmu
A. Pengertian
modernisasi pendidikan Islam
Modernisasi
merupakan suatu proses menuju masa kini atau proses menuju masyarakat modern.
Modernisasi dapat pula di artikan sebagai proses perubahan dari masyarakat
tradisional ke masyarakat modern.
Pengertian
dari Pendidikan itu sendiri ialah Pendidikan berasal dari kata didik yang
diberi awalan pe dan akhiran an yang berarti proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan, cara mendidik. Istilah
Pendidikan berasal dari bahasa yunani, paedagogy, yang memiliki arti seorang
anak yang pergi dan pulang sekolah dengan diantar oleh seorang pelayan.
Awalnya, istilah paedagogos berarti pelayan atau pelayanan, tetapi pada
perkembangan selanjutnya, paedagogos dimaknai sebagai seseorang yang tugasnya
membimbing anak pada masa pertumbuhannya sehingga menjadi anak yang mandiri dan
bertanggung jawab. Menurut bahasa, pendidikan dapat
diartikan perbuatan (hal, cara, dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula
pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan(latihan-latihan dan sebagainya)
badan, batin dan sebagainya. Adapun pengertian pendidikan menurut istilah
adalah suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh
orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk memengaruhi anak agar mempunyai
sifat-sifat dan tabiat sesuai cita-cita pendidikan.
Selanjutnya
adalah definisi Islam. Islam dari segi bahasa berarti patuh, tunduk, taat dan
berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan
hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Adapun kata Islam menurut istilah ialah
mengacu pada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT. bukan
berasal dari manusia, dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad saw, posisi
Nabi dalam islam diakui sebagai utusan Allah untuk menyebarkan ajaran islam
kepada umat manusia.
Dari
beberapa definisi di atas dapat di simpulkan bahwa Modernisasi Pendidikan Islam
ialah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal,
memahami, menghayati hingga mengimani agama islam serta bertakwa dan berakhlak
mulia dalam mengamalkan ajaran agama islam dan keterampilan yang diperlukan
dari cara yang tradisional menuju ke cara yang lebih modern.[1]
B. Perkembangan
Pendidikan Islam
Pada
masa awal, pendidikan identik dengan upaya dakwah islamiah karena itu
pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan agama islam. Kedatangan islam
untuk pertama kalinya membawa instrumen pendidikan tertentu yang berbudayakan
agama, yaitu Al-Qur’an dan ajaran-ajaran nabi. Akan tetapi, pada masa awal
perkembangan Islam, pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara
karena pada saat itu pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan bersifat
informal, dan ini pun lebih berkait dengan upaya dakwah islamiah penyebaran,
penanaman dasar-dasar kepercayaan, dan ibadah islam. Dalam kaitan itulah, dapat
dipahami apabila proses pendidikan islam pertama kali berlangsung di rumah, dan
yang paling terkenal adalah Darul Arqam. Ketika masyarakat islam sudah
terbentuk, pendidikan di selenggarakan di masjid dan proses pendidikan pada
kedua tempat ini dilakukan dalam halaqah, lingkaran belajar.
Tradisi
belajar yang telah ada pada masa Nabi terus berkembang pada masa-masa
sesudahnya, dan sebagaimana tercatat dalam sejarah, puncak kemajuannya tercapai
pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Almakmun yang berpusat di Baghdad, dan
pada masa kejayaan ‘Usmaniyah di spanyol dan cordova yang
berlangsung sekitar delapan abad (711-1492 M ), kemudian sistem pendidikan
islam diperluas dengan sisitem madrasah yang mencapai puncaknya pada Madrasah
Nidzamiyah yang didirikan di Baghdad oleh Nizam Al-Mulk (Muhammad Munir Mursi,
1975:98). Pendidikan Islam pada waktu itu telah melahirkan cendekiawan muslim
berkaliber dunia, yang dikenal sampai sekarang ini.[2]
Pada
awal mula tersebarnya ilmu pengetahuan islam berpusat pada individu-individu
dan bukan sekolah-sekolah. Kandungan pemikiran islam juga bercirikan
usaha-usaha individual, yaitu tokoh-tokoh istimewa tertentu yang telah
mempelajari hadits dan membangun sisitem-sistem teologi dan hukum mereka
sendiri di seputarnya, kemudian menarik murid-murid dari daerah lain yang ingin
menimba ilmu pengetahuan dari mereka. Berkembangnya ilmu dan semangat ilmiah dari
abad ke-9 samapai abad ke-13 di kalangan umat islam berasal dari terlaksananya
perintah Al-Qur’an untuk mempelajari alam semesta karena karya Allah tersebut
memang diciptakan untuk kepentingan manusia. Pada abad-abad pertengahan akhir,
semangat penyelidikan di dunia islam mengalami kemacetan dan merosot, sedangkan
dunia barat telah melaksanakan kajian-kajian yang sebagian besar dipinjam dari
ilmuwan-ilmuwan muslim, sehingga mereka menjadi makmur dan maju, bahkan
menjajah negeri-negeri muslim. Dengan dasar ini, umat islam yang mempelajari
ilmu baru dari dunia barat yang maju, berarti meraih kembali masa lampau mereka
dan sekaligus memenuhi perintah-perintah Al-Qur’an yang terlupakan.
C. Islam
dan Sistem Pendidikan Modern
Muhammad
Fathurrohman, akademisi UIN Maliki Malang, mendefinisikan pendidikan sebagai
sebuah aktifitas manusia yang memiliki maksud tertentu, yang diarahkan untuk
mengembangkan individu sepenuhnya. Konsep pendidikan islam tidak dapat
sepenuhnya dipahami tanpa lebih dulu memahami penafsiran islam tentang
pengembangan individu sepenuhnya. Hanya melalui perbandingan konsep manusia dan
pengembangannya dengan berbagai konsep yang timbul dalam masyarakat modern,
barulah kita dapat memahami sifat berbagai problem yang kita hadapi dan cara
menjawabnya. Adapun tujuan akhir pendidikan muslim adalah perwujudan penyerahan
mutlak kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada
umumnya .
Dengan
demikian, modernisasi dapat dikatakan “memaksa” proses kurikulum, cara,
metodologi, situasi dan pendidikan Islam dari yang tradisional (ortodox) kearah
yang lebih rasional, dan professional sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi saat ini. Kemoderenan ini cenderung
menghasilkan jebakan baru yang bernama cultural shock, virus langka namun
mematikan ini lambat laun ikut andil dalam penyelenggaraan sistem pendidikan
Islam. Para pelaku sumber daya kependidikan Islami seakan tak sadar mereka
telah terjebak, Mereka mengabaikan sebuah penawar yang sangat ampuh, yaitu
‘amar ma’ruf, nahi munkar dan melalaikan sumber segala hukum, Al-Qur’an dan
Hadits.
Memang saat ini banyak lembaga pendidikan Islam yang telah
berhasil menjalankan sistem kemoderenan tanpa mengabaikan nilai-nilai Islami
yang hakiki, namun itu hanya sebagian dan tak bisa dijadikan barameter
langsung, sebab sebagian lainnya cenderung terperangkap jebakan cultural shock
dan akhirnya berkiblat pada prinsip sekularisme-nya “orang barat”, yaitu
pemisahan Ilmu pengetahuan dengan Pemilik ilmu pengetahuan.
D. Modernisasi
Pendidikan Islam di Indonesia
Di Indonesia sendiri perkembangan pendidikan Islam
pada awalnya masih dilaksanakan secara tradisional belum tersusun kurikulum
seperti saat ini. Baik itu pendidikan di surau maupun pesantren. Modernisasi
pendidikan Islam di Indonesia sangat di perlukan. Modernisasi pendidikan Islam
diakui tidaklah bersumber dari kalangan Muslim sendiri, melainkan diperkenalkan
oleh pemerintahan kolonial belanda pada awal abad 19. Program yang dilaksanakan
oleh kolonial Belanda adalah dengan mendirikan Volkshoolen, sekolah rakyat,
atau sekolah desa (Nagari) dengan masa belajar selama 3 tahun, di beberapa
tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun 1871 terdapat 263
sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang; dan menjelang 1892
meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 murid .
Point
penting eksprimen Belanda dengan sekolah nagari terhadap system dan kelembagaan
pendidikan Islam adalah tranformasi sebagian surau di Mingkabau menjadi sekolah
nagari model Belanda. Memang berbeda dengan masyarakat muslim jawa umumnya
memberikan respon yang dingin, banyak kalangan masyarakat muslim Minangkabau
memberikan respon yang cukup baik terhadap sekolah desa . Perbedaan respon
masyarakat Muslim Minangkabau dan jawa banyak berkaitan dengan watak cultural
yang relatif berbeda, selain itu juga berkaitan dengan pengalaman historis yang
relatif berbeda baik dalam proses dan perkembangan Islamisasi maupun dalam
berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Selain
itu perubahan atau modernisasi pendidikan Islam juga datang dari kaum reformis
atau modernis Muslim. Gerakan reformis Muslim yang menemukan momentumnya sejak
abad 20 berpendapat, diperlukan reformasi system pendidikan Islam untuk
mempu menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristenisasi.
E. Strategi
Menghadapi Modernisasi Ilmu Pengetahuan secara Islami
Dunia
ini telah diwarnai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat pesat. Kekuatan pasar yang kuat telah banyak memainkan peran dalam arena
perdagangan dan investasi. Di sisi lain, kita juga mendapati dunia ini banyak
menghadapi ancaman kemiskinan dengan segala dampaknya.
Masalah
utamanya, saat ini manusia begitu tergila-gila pada prestasi material, sukses
duniawi, efisiensi dan kesenangan dengan mengijinkan pembaharuan teknologis
yang tidak terkontrol dan mengabaikan penyakit ekologi dan sosial mereka. Sikap
ini harus diubah, dari sikap yang secara total teknologis menjadi sikap yang
mengekang sains dan teknologi dan mengaturnya kembali menjadi sebuah instrument
untuk kepentingan moral.
Kekuasaan
luar biasa yang diberikan pengetahuan “moderen” kepada manusia, telah membuat
semakin pentingnya manusia mengendalikan dirinya secara ketat. Ia dapat
melakukan ini hanya kalau ia mencintai Tuhan dan Nabi melebihi cintanya kepada
dirinya sendiri, keluarganya atau negaranya, karena dengan hanya begitu ia akan
dibimbing oleh “undang-undang” yang lebih penting pada hukum kepentingan diri
sendiri dalam masyarakat modern.[3]
Masyarakat muslim masih tetap memegang asumsi dasarnya,
walaupun asumsi itu mendapat kecaman sengit; pihak berwenang harus menerima
supremasi al-Qur’an dan Sunnah walaupun mereka mungkin tidak mematuhinya secara
ketat; masyarakat juga masih tetap membutuhkan Tuhan dan Nabinya dan tetap
menghormati semua Nabi. Kalau para sarjana Muslim dapat merumuskan sesuatu yang
religius sebagai pengganti konsep sekularis bagi semua cabang ilmu pengetahuan
dan dapat melaksanakan sebuah sistem pendidikan yang layak, semua itu akan
menjadi pembuka mata bagi masyarakat modern di Barat dan memperjelas dampak
positif dari modernisasi pendidikan .
Karena itu, konsep pendidikan Islam yang cenderung terkena
keterkejutan sosial, perlu ditafsirkan dan dilaksanakan dalam konteks kehidupan
modern. Untuk mengatur kembali teknologi dan menggunakannya bagi manfaat
manusia dan kehidupan secara luas untuk menyelamatkan manusia dari dehumanisasi
dan, yang lebih penting lagi adalah dengan mengimani Tuhan Yang Maha Esa dan
melakukan sesuatu dengan prinsip sebagai seorang makhluk yang diciptakan oleh
Sang Khalik , marilah kita menegaskan kembali hierarki nilai-nilai, marilah
kita merumuskan kembali konsep ilmu-ilmu sosial dan alam serta kemanusiaan.
Hanya dengan begitu pendidikan benar-benar akan menjadi kaffah. Dan kita dapat
berharap mendapatkan keadaan yang lebih baik, keselamatan dan keamanan umat
manusia dan selamat dari dampak negatif modernisasi dan dapat memaksimalkan
dampak positif dari modernisasi khususnya di bidang pendidikan.
v Epistemologi
Ilmu
1. Pengertian
Epistemologi
Epistemologi
berasal dari bahasa Yunani “episteme” dan “logos”. “Episteme”
artinya pengetahuan (knowledge), “logos” artinya teori atau
ilmu. Epistemologi secara etimologis berarti teori atau ilmu yang
membahas pengetahuan dan cara memperolehnya. Epistemologi kadang juga disebut
teori pengetahuan (theory of knowledge), sebab merupakan suatu kajian
filosofis yang memuat telaah kritis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Suparlan Suhartanto (2005: 117) menyatakan
bahwa epistemologi berarti pengetahuan tentang pengetahuan.
Objek
material epistemologi adalah pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah
hakikat pengetahuan. Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat memiliki maksud:
a. Mengkaji
dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia,
seperti bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarnya?
Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk
mengetahui?
b.
Secara kritis
mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari
dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban rasional
terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Misalnya, bagaimana saya tahu
bahwa saya dapat tahu?
c.
Berupaya secara
rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam
interaksinya dengan diri, lingkungan sosial dan alam sekitarnya.
Berdasarkan
ketiga maksud tersebut maka epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang
bersifat evaluatif, normatif dan kritis (Sudarminto, 2002:19). Evaluatif
berarti bersifat menilai, apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat,
teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar
yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan
norma atau tolak ukur kebenaran bagi kebenaran pengetahuan. Kritis berarti
banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun kegiatan manusia
mengetahui.
2. Tujuan dan Manfaat Belajar
Epistemologi
Disadari
atau tidak, manusia harusnya memahami hal-hal penting tentang
pengetahuan misalnya bagaimana proses
manusia mendapatkan pengetahuan yang benar. Tanpa pemahaman ini, seseorang
memahami pengetahuan dan ilmu pengetahuan secara sepotong. Bahkan pengetahuan
merupakan sesuatu yang selalu menyertai dalam segala aspek kehidupan manusia
dari yang paling sederhana sampai yang kompleks. Menurut Nirmawaty Adrah (2010:
146) filsafat pengetahuan sangat membantu dalam memperdalam wawasan
pengetahuan, karena kita hidup dalam zaman yang penuh tantangan dan perubahan.
Jacques
Martain mengatakan, “Tujuan epistemologi bukanlah hal utama menjawab
pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang
memungkinkan saya dapat tahu.” Hal ini menunjukkan bahwa tujuan
epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun tidak bisa dihindari
akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih
penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.[4]
Rumusan
tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika
pengetahuan. Rumusan ini menumbuhkan kesadaran bahwa jangan sampai dia puas
dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal
untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan
sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.
Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih
berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentu akan dapat
mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya acapkali tidak
mengetahui prosesnya. Contoh, seorang guru dapat mengajarkan kepada siswanya
bahwa empat kali lima sama dengan dua puluh (4 X 5 = 20) dan siswa mengetahui,
bahkan hafal. Namun, bagi siswa yang cerdas tidak pernah puas dengan
pengetahuan dan hafalannya
itu. Dia akan mengejar bagaimana prosesnya, empat kali lima sama dengan dua
puluh. Maka guru yang profesional akan menerangkan proses tersebut secara rinci
dan mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu memahaminya dan mampu
mengembangkan perkalian angka-angka lain. Dengan demikian, seseorang tidak
sekedar mengetahui sesuatu atas informasi orang lain, tetapi benar-benar tahu
berdasarkan pembuktian kontektual melalui proses itu.
Mempelajari
epistemologi dapat memberikan manfaat yang besar. Hal tersebut dapat ditinjau
dari latar belakang sejarah manusia, kebudayaan, dan pendidikan (Rukiyati dan
Andriani, 2002: 22). Ditinjau dari sejarah manusia dapat dijelaskan bahwa salah
satu kekuatan yang membentuk sejarah manusia adalah pikirannya. Di satu pihak
sejarah manusia dibentuk dan dikembangkan oleh pikiran, dan di lain pihak
pikiran manusia terjadi dan berkembang dalam sejarah. Dengan demikian, sejarah
dibentuk oleh pikiran dan pikiran tumbuh dalam sejarah manusia. Ditinjau
dari kebudayaan, epistemologi adalah pengetahuan, sedangkan hakikat kebudayaan
adalah manusia. Hubungan antara epistemologi dan kebudayaan adalah hubungan
masalah antara pengetahuan dan manusia. Dengan pengetahuan itu manusia
mengenali peristiwa, mengurai, mengadakan penafsiran, dan menentukan pilihan-pilihan.
Manusia mempertahankan dan mengembangkan hidup dan kehidupannya dengan kekuatan
pengetahuan itu. Ditinjau
dari pendidikan, pendidikan dan pengetahuan memiliki hubungann yang
erat. Pendidikan secara fungsional diartikan sebagai
proses transfer of value dan transfer of
knowledge. Pengetahuan berkaitan dengan seluruh proses pendidikan yang
mengantarkan peserta didik ke arah kedewasaan. Bahkan pendidikan saat ini
menempatkan pengetahuan sebagai fokus dari materi di dalam proses pembelajaran.
Menurut Brameld (Jalaludin dan Abdullah, 2007; 128) mendefenisikan
epistemologi dengan “ it is epistemology that gives the teacher the
assurance that he is conveying the truth to his student”. Maksudnya
epistemologi memberikan kepercayaan bagi guru bahwa dia memberikan kebenaran
kepada murid-muridnya.
3. Kajian
Epistemologi
a. Hakikat
Pengetahuan
Pencarian hakikat pengetahuan perlu dilakukan agar
kita dapat mengetahui bagaimana proses penemuan pengetahuan. Menurut Rukiyati,
dkk (2002: 39), pengetahuan adalah kegiatan yang memiliki sifat pengembangan,
menambah kesempurnaan. Pengetahuan merupakan pendorong perubahan di tingkat
manusia maupun tatanan kosmos. Pengetahuan manusia sifatnya tidak terbatas,
tidak sempurna, karena pengetahuan berkembang secara dinamis. Manusia tidak
mengetahui pengetahuan secara keseluruhan tetapi manusia hanya mengetahui secara
sepotong. Dengan demikian, sebagai manusia kita wajib memahami secara mendalam
apa itu pengetahuan.
Sedangkan
menurut Jujun S (2007:105), pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan
menjawab permasalahan hidup yang dihadapi manusia. Pengetahuan juga dapat
diartikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu dan segala perilaku
manusia untuk memahami suatu objek tertentu guna menyelesaikan masalah
(Soerajiyo; 2008: 26).Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa
pengetahuan sebagai hasil tahu manusia yang berkembang secara dinamis sebagai
pendorong perubahan di tingkat manusia dan tatanan kosmos guna menjawab
permasalahan hidup manusia.
b. Jenis-jenis
pengetahuan
Menurut
Soejono Soemargono dalam Surajiyo (2008: 30-31) pengetahuan dibagi atas:
1.
Pengetahuan non
ilmiah . Pengetahuan non ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara
yang tidak termasuk dalam metode ilmiah. Walaupun demikian, pengetahuan ini
juga dapat direncanakan dan diolah lebih lanjut menjadi pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan ilmiah juga diartikan segenap pemahaman manusia yang terdapat dalam
kehidupan sehari-hari. Bahkan pengetahuan ini juga merupakan campuran dari
hasil penyerapan secara inderawi.
2.
Pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia yang diperoleh dengan
menggunakan metode ilmiah. Pengetahuan ilmiah lebih sempurna karena telah
memenuhi syarat-syarat tertentu dengan cara berpikir khas.
Senada dengan pendapat di atas, pengetahuan dipandang
dari jenis pengetahuan dapat dibedakan sebagai berikut:
1.
Pengetahuan biasa (ordinary
knowledge / Common sense knowledge). Pengetahuan seperti ini bersifat
subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal.
2.
Pengetahuan ilmiah,
yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan
menerapkan pendekatan metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan di antara
para ahli. Pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi dan diperkaya oleh
hasil penemuan yang paling mutakhir.
3.
Pengetahuan filsafat,
yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran
filsafat. Sifat pengetahuan ini mendasar dan menyeluruh dengan pemikiran yang
analitis, kritis, dan spekulatif.
4.
Pengetahuan agama,
yaitu pengetahuan yang didasarkan pada keyakinan dan ajaran agama tertentu.
Pengetahuan agama bersifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu
agama selalu didasarkan pada keyakinan yang telah tertentu. (Rizal Mustansyir,
2010: 23)
c. Sumber-sumber
pengetahuan
Suparlan
(2008:53), menyatakan bahwa terdapat lima sumber pengetahuan yaitu:
1) Kepercayaan,
Sumber pengetahuan berdasarkan tradisi, adat, dan agama.
2) Otoritas.
Pengetahuan berdasarkan kesaksiann orang lain, misal orang tua, guru, ulama,
orang yang dituakan, dan lainnya.
3) Inderawi.
pengetahuan yang berkaitan dengan kesaksian indera dalam menangkap kebenaran
objek.
4) Akal
pikiran. Pengetahuan yang berasal dari hal-hal yang bersifat metafisis,
spiritual, abstrak, dan universal.
5) Intuisi.
Sumber ini berupa gerak hati dan bersumber dari pengalaman batin yang bersifat
langsung.[5]
d. Prosedur
mendapatkan pengetahuan (Ilmu)
Landasan
dari epistemologi ilmu adalah metode ilmiah. Menurut Jujun S (2007:119) metode
ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yaitu ilmu. Jadi ilmu
merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah. Akan tetapi tidak
semua pengetahuan dapat disebut ilmu karena ilmu diperoleh melalui metode
ilmiah. Dalam proses menemukan pengetahuan, metode ilmiah terdiri atas beberapa
langkah tertentu yang saling berhubungan secara dinamis.
4. Relevansi
Epistemologi dengan Ilmu
Kedudukan
dan peran filsafat pengetahuan (Epistemologi ilmu) di dalam peradaban manusia
sangat penting. Hal ini digunakan untuk memecahkan permasalahan yang muncul di
tengah kehidupan ekonomi, politik, dan ideologi yang senantiasa membawa
perubahan ketika keyakinan tentang cara lama sudah mulai tidak diperlukan lagi.
Relevansi
Epistemologi dengan beberapa ilmu dapat dicontohkan
melalui ilmu politik dan antropologi. Intinya, mempelajari ilmu politik dan
antropologi diperlukan pengetahuan, informasi, penalaran, maka di sinilah peran
epistemology. Pengetahuan didapat dari pengamatan. Disebutkan bahwa sifat
pengamatan adalah konkret seperti halnya ilmu politik dan antropologi
mempelajari sesuatu yang konkret. Artinya, isi yang diamati adalah sesuatu yang
bisa diamati dan terjadi dalam kehidupan manusia (Muh.Adib, 2011: 89)
5. Membenahi
Epistemologi Pendidikan Islam
Dalam
pembahasan ini epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau
pendekatan yang dapat dipakai untuk membangun ilmu pengetahuan Islam, dari pada
komponen-komponen lainnya, sebab metode atau pendekatan tersebut paling dekat
dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun
aplikatif. Epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik,
pemberi solusi, penemu, dan pengembang.
Jika
pendidikan Islam mengedepankan pendekatan epistemologi dalam proses belajar
mengajar, maka pendidikan Islam akan banyak menghasilkan lulusan-lulusan
yang berjiwa produsen, peneliti, penemu, penggali, dan pengembang ilmu
pengetahuan. Karena epistemologi merupakan pendekatan yang berbasis proses,
maka epistemologi melahirkan konsekuensi-konsekuensi logis, yaitu :
1.
Menghilangkan
paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai,
tetapi bebas untuk dinilai, mengajarkan agama lewat bahasa ilmu pengetahuan,
dan tidak mengajarkan sisi tradisional saja, tetapi sisi rasional. Selain itu,
perlu ditambahkan lagi dengan penggunaan indera dan akal pada wilayah obyek
ilmu, sedangkan wahyu memberikan bimbingan atau menuntun akal untuk mewarnai
ilmu itu dengan keimanan dan nilai-nilai spiritual.
2.
Merubah pola
pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid.
Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, optimis, dinamis,
inovatif, memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan siswa dapat pula
mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan. Intinya, pendekatan
epistemologi ini menuntut pada guru dan siswa untuk sama-sama aktif dalam
proses belajar mengajar.
3.
Merubah paradigma
idiologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah SWT. Sebab,
paradigma idiologis ini karena otoritasnya dapat mengikat kebebasan
tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan dinamis. Praktis paradigma idiologis
tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau pemikiran bebas bertanggung
jawab secara argumentatif. Padahal, wahyu sangat memberikan keleluasaan bagi
akal manusia untuk mengkaji, meneliti, melakukan observasi, menemukan, ilmu
pengetahuan (ayat kauniyah) dengan petunjuk wahyu Allah SWT. dan
paradigma ilmiah saja tanpa berpijak pada wahyu, tetap akan menjadi sekuler.
Karena itu, agar epistemologi pendidikan Islam terwujud, maka konsekuensinya
harus berpijak pada wahyu Allah.
4.
Guna menopang dan
mendasari pendekatan epistemologi ini, maka perlu dilakukan rekonstruksi
kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual menjadi kurikulum yang
berbasis tauhid. Sebab segala ilmu pengetahuan yang bersumber pada hasil
penelitian pada alam semesta (ayat kauniyah) maupun penelitian terhadap
ayat qouliyah atau naqliyah (al-qur’an dan sunnah) merupakan ilmu Allah
SWT. ini
berarti bahwa semua ilmu bersumber dari Allah. Realisasinya, bagi penyusun
kurikulum yang berbasis tauhid ini harus memiliki pengetahuan yang komperhensif
tentang Islam. Karena kurikulum merupakan sarana untuk mencapai tujuan
pendidikan. Epistemologi pendidikan Islam diorientasikan pada hubungan yang
harmonis antara akal dan wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan
pada perumbuhan yang integrasi antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. Semua
dimensi ini bergerak saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga perpaduan
seluruh dimensi ini mampu menghasilkan manusia
paripurna yang memiliki keimanan yang kokoh, kedalaman spiritual, keluasan ilmu
pengetahuan, dan memiliki budi pekerti mulia.
5.
Konsekuensi yang lain
adalah merubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual pada
pendekatan kontekstual atau aplikatif. Dari sini pendidikan Islam harus
menyediakan berbagai media penunjang untuk mencapai hasil pendidikan yang
diharapkan. Menurut perspektif Islam bahwa media pendidikan Islam adalah
seluruh alam semesta atau seluruh ciptaan Allah SWT.
6.
Adanya peningkatan
profesionalisme tenaga pendidik dan penguasaan materi yang komperhensif tentang
materi ajar yang terintegrasi antara ilmu dan wahyu.
Setelah
kita mengetahui beberapa konsekuensi logis dari penerapan pendekatan
epistemologi, perlu kita mengetahui sumber ilmu pengetahuan atau cara
memperoleh ilmu pengetahuan. Menurut Mujamil Qomar ditinjau dari cara
memperolehnya, adakalnya pengetahuan pedidikan diperoleh setelah mengalami. Ini
merupakan pengetahuan pendidikan secara aposteirori (oleh Imam
Ghozali disebut ilmu nazari) atau menurut istilah Barat
disebut empirisme. Adakalanya pengetahuan pendidikan diperoleh
sebelum mengalaminya, hanya melalui perenungan dan penggagasan. Hal ini disebut
pengetahuan pendidikan apriori (oleh Imam Ghozali disebut ilmu awali)
atau menurut istilah Barat disebut rasionalisme. Jika pengetahuan
pendidikan yang pertama bersumber dari indera, maka pengetahuan pendidikan yang
kedua bersumber dari akal. Sedangkan asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan
dalam pendidikan Islam adalah dari Allah SWT. Karena itu, jika dibandingkan
dengan pengetahuan yang bersumber dari indera dan akal, maka masih ada
tingkatan pengetahuan yang jauh lebih tinggi, yaitu pengetahuan yang diperoleh
berdasarkan petunjuk wahyu.
Pengetahuan
yang bersumber dari indera ataupun akal, kebenarannya bersifat nisbi. Artinya,
jika ada penelitian dan pembuktian lain yang berhasil mematahkan hasil
penelitian pertama, maka hasil penelitian pertama tidak berlaku lagi dan yang
digunakan adalah hasil penelitian kedua, begitu seterusnya. Sedangkan
pengetahuan yang bersumber pada petunjuk wahyu, kebenarannya bersifat mutlak.
Betapapun
besarnya kekuatan akal untuk menjalankan proses berpikir, bernalar, merenung,
menggagas, berspekulasi, dan berimajinasi untuk menemukan pengetahuan baru,
tetapi perlu ditegaskan lagi bahwa akal memiliki keterbatasan.
Kemampuan akal sangat terbatas. Banyak realita yang diakui ada, tetapi akal
tidak mampu menjangkaunya. Kenyataan ini dapat dijadikan peringatan agar
manusia tidak bersifat arogan setelah menemukan dari sedikit ilmu Allah yang
tersembunyi dibalik sunnatullah atau alam ciptaan-Nya.
BAB
III
KESIMPULAN
Modernisasi
pendidikan Islam mempunyai akar-akarnya tetang “Modernisasi” pemikiran dan
instituisi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain modernisasi pendidikan
Islam tidak bisa dipisahkan dengan gagasan dan program modernisasi Islam.
Kerangka dasar yang berada dibalik modernisasi Islam secara keseluruhan adalah
modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan persyaratan bagi
kebangkitan kaum muslim di masa modern.
Pendidikan
Islam baik itu kelembagaan dan pemikiran haruslah dimodernisasi, mempertahankan
kelembagaan Islam tradisional hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan
kaum muslimin dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apa itu pengetahuan, jenis-jenis
pertanyaan, sumber pengetahuan, dan bagaimana kita memperoleh dan menangkap
pengetahuan. Hal yang perlu diperhatikan dari kajian penting dalam menanyakan
apa yang kita ketahui adalah pertanyakan dulu secara kritis, ragukan dulu, berpikir
dulu, baru yakini dan tidak.
Epistemologi juga menghadirkan representasi pemikiran
manusia dari dahulu hingga sekarang sebagai perjalanan manusia dalam mencapai
pengetahuan. Perkembangan pengetahuan juga telah membawa manusia dalam kemajuan
peradaban pada masa kini dan yang akan datang, sehingga pengetahuan menjadi
faktor utama yang mendukung kemajuan dan kuatnya masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A.Munir,Drs,
1994 Aliran Modern Dalam Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta
Iu
Rusliana, S.FII.l., M.Si. 2015 Filsafat Ilmu Bandung : PT Refika Aditama
Abdurahman
Hafidz KH 2015 Pengaruh Filsafat Dan Ilmu Kalam Terhadap Kemunduran Islam Bogor
: Al-Azhar Fresh Zone
Komentar
Posting Komentar